Sunday 24 November 2013

Sunrise Puncak Lawu : Cemoro Kandang



“Besok katanya si ada rombongan trail mau naik ke atas Mas, mungkin 50 ada tuh”

Itu yang Bapak pemilik warung ucapkan di malam ketika kami numpang menginap. Ucapan seiring doa untuk turut meramaikan warungnya esok. Dan pagi harinya selagi kami masih di gubuk, bukan motor trail yang kami lihat tapi puluhan Bapak-bapak TNI yang sedang ‘wisata’ naik ke puncak Lawu. Latihan mungkin. Bahkanmereka berangkat dari subuh. Ada juga trail tapi rasanya tidak akan sampai ke atas dan tidak sampai 50 (emang mau ngojek hehe). Jam 8 pagi kami melanjutkan pendakian, meninggalkan POS 1 seraya pamit dan mengucap banyak terima kasih ke Bapak Ibu pemilik warung (Duh, lupa tanya nama).

Istirahat dulu di POS 3. lanjut nanjak lagi!!
Seiring waktu, kontur jalan rasanya semakin naik tajam, jarang saya temukan jalan mendatar padahal saya mengharapkan sesuatu yang mendatar barang sejenak tapi memang begitulah ketika kita ambil jalur Cemoro Sewu. Jalur ini memang terus naik tapi lebih pendek dibandingkan jalur Cemoro Kandang yang relatif datar tapi panjang karena memutar jadi memakan waktu lebih lama. Di perjalanan kami menikmati pemandangan yang sangat indah. Tumbuhan khas pegunungan seperti edelwise ada dimana-mana tapi yang paling indah memang melihat kumpulan awan putih yang ada di bawah kita. Udara memang semakin tipis dan dingin tapi kami masih harus bergerak justru supaya terasa lebih hangat.

Saturday 16 November 2013

Sunrise Puncak Lawu : Cemoro Sewu


Menantikan Tawangmangu!
Rencana, kita memang hanya bisa berencana tapi akhirnya siapa yang tahu juga (ngomong apa ya hehe). Pendakian ke Gunung Lawu semula direncanakan oleh tiga orang, saya dan dua teman kantor, tapi ternyata takdir berkata lain (cieh) hanya saya dan Ardi yang bisa merasakan sensasi di atas awan itu. Yup, Gunung Lawu dengan ketinggian 3265 m dpl katanya benar-benar bisa membuat kita merasakan sensasi di atas awan. Tapi hanya dua orang menuju puncak itu cukup terdengar mengerikan, kalau kami berdua sakit, kalau ada apa-apa, apalagi gunungnya jauh lebih tinggi dari Gn. Pangrango yang pernah saya daki sebelumnya (amatir euy). Bismillah...

Cuti dua hari dari kantor sudah disiapkan, tiket kereta Jakarta-Solo PP pun sudah dipesan satu bulan sebelumnya (untuk tiga orang bahkan hehe). Jumat sore kami sudah tiba di Stasiun Senen setia menanti KA Brantas, kereta api ekonomi yang sekarang sudah difasilitasi pendingin tapi tetap murah karena dapat subsidi. Untuk harga Jakarta-Solo PP kami hanya mengeluarkan biaya 125 ribu per orangnya (jadi pengen naik kereta kan!). Nah, dari Solo rencananya kami akan naik bus menuju Tawangmangu untuk selanjutnya ke daerah Cemoro Sewu dan disanalah titik pendakian dimulai.

Sunday 29 September 2013

‘Mumpung’ story (eps.3) : Kobe, Jepang



Changi Int'l Airport - Singapore, fiuh! lengkap..kap!
Jalan-jalan ke luar negeri, sudah bukan hal yang terlalu sulit sepertinya. Tiket murah dari low cost airline macam Air Asia atau Tiger Airways sudah tersedia. Baru beberapa waktu lalu di salah satu situs maskapai saya menemukan tiket ke negara tetangga hanya dua ribu rupiah, SUPERB! Selain itu bebas visa di sebagian besar negara ASEAN juga jadi hal yang jelas mempermudah, minimal kita bisa jalan-jalan ke negara tetangga, bahkan beberapa negara seperti Hongkong pun bebas visa untuk warga Indonesia. Oia, hal lainnya adalah daya tarik atau magnet negara asing sepertinya bisa membuat semua kesulitan dianggap mudah dan itu yang paling penting kan? kalau sudah niat ya sesulit apapun dilakukan, magnet wisata belanja murah bisa jadi alasan orang nekat pergi ke Singapura sampai Dubai, daya tarik menikmati hidup modern dan serba teratur juga mungkin jadi alasan seseorang mengunjungi Eropa sampai Amerika. Atau alasan yang satu ini, backpacker, keinginan kuat untuk menikmati daerah baru, menaklukan daerah baru yang berarti menaklukan diri sendiri, mencari jati diri dan alasan idealis lainnya.


Disisi lain, sebagian orang memiliki alasan yang lebih khusus (masuk akal) mengapa akhirnya mereka keluar dari batas negaranya sendiri. Mulai dari alasan keluarga, pendidikan, berobat, ibadah dan juga pekerjaan. Nah, saya sendiri sekalinya keluar negeri ya karena tugas pekerjaan dan itulah juga kenapa cerita ini ada di bagian Mumpung story mungkin kalau saya keluar negeri karena niat jalan-jalan pasti saya buat Lapsus alias laporan khusus sendiri (hehe). Tapi biarpun karena pekerjaan harus sempat jalan-jalan!

Sunday 30 June 2013

‘Mumpung’ story (eps.2) : Balikpapan


Tempat sampah di angkot
Ikut repot cari-cari akomodasi yang nyaman tapi juga tidak ‘membobol’ habis kas kantor (hehe) ternyata juga saya lakukan ketika dapat giliran dinas luar kota beberapa kali ke Balikpapan. Maklum, pulau Kalimantan ini baru saja ‘dijajaki’ oleh kantor saya, jadinya ya semua serba yang pertama, cari hotel yang baik, transportasi selama disana yang nyaman sampai muter cari calon lokasi bisnis yang strategis. Lain cerita lah dengan Medan, saya tinggal ‘ngeloyor’ kesana kemari karena ikut sistem berjalan, malah punya banyak waktu untuk jalan-jalan (hihihi). Tapi di Balikpapan? Rasanya kerja dan kerja!

Kota Balikpapan memang tidak terlalu besar, kalau kata salah satu rekan disana ‘ya masnya naik mobil 30 menit muter-muter Balikpapan juga selesai’ dan kemacetan memang bukan isu utama di kota maju ini, karena memang tidak pernah ada kemacetan berarti. Kota pinggir pantai ini sangatlah tertib, rapih, bersih, tenang cenderung sepi tapi tetap modern. Tidak heran setelah jarang absen dapat piala Adipura (hampir yang ke-16 kali!!) Balikpapan di tahun 2013 ini juga mendapat predikat kota terbersih se-ASEAN oleh ASEAN Working Group on Environmentally Sustainable Cities (AWGESC). Balikpapan berada diurutan kedua setelah kota Phitsanulok (Thailand), hebat ya! Dan semoga semakin banyak lagi kota di Indonesia yang juga ‘bersih’. 

Novotel (asiarooms.com)
Bicara akomodasi. Novotel, salah satu hotel bintang empat di Jl.Brigjen Ery Suparjan mungkin bisa jadi pilihan. Hotel bertaraf internasional ini memang asik lah, kamar yang sudah pasti nyaman, restoran dengan menu enak dan lebih beragam (setelah saya banding-bandingkan) serta yang unik adalah kolam renang di jajaran lantai teratas. Ya, yang saya senangi disini memang pengalaman berenang sore-sore berlatar pantai di kejauhan merasakan sensasi berenang menuju lautan atau di kesempatan lain hanya duduk-duduk santai di pinggir kolam menikmati matahari sore juga menyenangkan.

Lain halnya dengan Le Grandeur di Jl. Jend. Sudirman. Hotel ini memiliki keuntungan sendiri karena punya ‘pantai pribadi’, ya dari lobby hotel kita bisa langsung bermain di pantai dan menikmati ombak tenangnya, boleh juga sambil pesan seafood di restoran yang tersedia di pinggir pantai. Hotel ini juga kerap dijadikan arena family gathering beberapa perusahaan di Balikpapan dan sekitarnya, mungkin juga karena daya tarik pantai pribadi ini. Sayang, waktu pertama kali saya kepantai, kok ya banyak sampah di pinggirnya. ‘Ah mungkin belum dibersihkan saja’ pikir saya, dan saya tetap lanjut jepret sana-sini ‘nyari’ si matahari senja. Nah, untuk kolam renang sih memang tidak lebih besar dari Novotel tapi di Le Grandeur lingkungannya lebih asri dan hijau, kolamnya manis sekali diselingi gazeebo dan juga dekat dengan fitness centre. Asik lah! 

Sunday 9 June 2013

‘Mumpung’ story (eps.1) : Medan

Kesempatan jalan-jalan ternyata juga bisa didapatkan ketika kita sedang tugas kerja keluar kota. Sambil menyelam minum air katanya mah. Memang, alokasi waktu untuk menjelajah tidaklah banyak tapi keuntungannya kita bisa berhemat untuk urusan transportasi dan akomodasi. Paling hanya butuh transportasi dalam kota. Tapi rasanya sah-sah saja yang penting tidak melalaikan tugas utama dan ingat untuk pulang ke kota asal (hehe). Sayang saja kalau kita tidak cukup mengenal daerah yang kita singgahi, supaya banyak yang bisa dikenang gitu mosok cuma tentang kerjaannya saja. Tambah sayang lagi ketika waktu luang kita hanya dihabiskan di penginapan atau hotel.

Horas!
Saya ingat beberapa tahun lalu tugas pertama saya adalah mengunjungi Medan. Langsung semangat juga bingung karena saya belum pernah mengunjungi kota besar ini.

Ketika itu pesawat belum berhenti sempurna, hanya beberapa saat setelah roda kecilnya menyentuh badan landasan Polonia, awak kru pesawat dari balik mic-nya menyerukan penumpang untuk tetap duduk hingga parkir sempurna. Tidak cukup luas memang Bandar Udara Polonia jika membandingkannya dengan Jakarta, tapi keduanya sama menjadi salah dua bandar udara tersibuk di Indonesia. Tanpa menunggu lama, sekonyong-konyong beberapa (dan itu banyak) penumpang bangkit seperti tidak mendengar seruan tadi, bergegas segerakan tangan menyambar barang-barang dari balik bagasi kabin. Saya seperti terbawa efek hipnotis yang harus ikut bergerak melakukan hal yang sama, tapi rasanya tidak mungkin mempertahankan keseimbangan badan diatas pesawat yang berjalan ini yang akhirnya membuat saya tetap duduk tidak beranjak kemana-mana. Saya hanya diam, menunggu pesawat berhenti sempurna dan bertanya-tanya memandangi mereka yang “cekatan sekali” pikir saya. Dan uniknya, hal ini selanjutnya tidak saya jumpai di penerbangan saya ke kota lainnya (hehe).

Saturday 18 May 2013

Jalan kaki jalan-jalan

Mendaki tebing @Bromo
Berjalan kaki di padang savana Bromo kemarin membuat saya mengingat kembali betapa sebetulnya ‘jalan kaki’ menjadi kegiatan tak terhindarkan di setiap saya menjelajahi kota-kota di Indonesia (lagaknya kayak udah banyak yang dikunjungi hehe). Dan saya yakin banyak traveler yang juga pasti (mau) berjalan kaki menjelajahi tempat menarik, terlebih hubungan antara tempat eksotis dan kurangnya akses biasanya berbanding lurus. Semakin tak terjamah suatu tempat wisata maka semakin menarik dan semakin minim akses menuju kesana yang biasanya memaksa traveler berjalan kaki. Contoh naik-naik ke puncak gunung (yaiyalah). Selain terpaksa karena minim transportasi, alasan memutuskan jalan kaki pun beragam. Bagi saya menikmati lingkungan sekitar sepanjang jalan cukup membuat saya mau berjalan kaki jauh yang biasanya berimbas (positif) pada penghematan budget. Atau alasan ekstrem saya karena takut ‘kebablasan’ kalau naik angkutan yang akhirnya ‘sok-sok’ kuat jalan kaki beriringan dengan angkutan di jalan raya yang liar.

Dua 'kisanak' selalu berkelana @savana Bromo
Memori pertama kali saya berjalan kaki jauh adalah sewaktu kuliah dulu menemani seorang teman menyusuri pantai. Bukan untuk senang-senang, melainkan tuntutan tugas akhir (skripsi) yang membuat kami harus memetakan (tracking) titik-titik di pinggir pantai Cilacap setiap 100-200 meter dengan GPS, sejauh hampir 20 km! Sebetulnya bisa saja naik becak, sewa motor atau lainnya. Tapi akhirnya kami memutuskan berjalan kaki dengan alasan menikmati pantai dan pemandangannya ditambah (sekali lagi) kondisi keuangan (mahasiswa kan!).

Sunday 5 May 2013

Ferris wheel di alun-alun Batu


Kembali lagi ke Malang. Mungkin harusnya itu judul yang tepat ya, mengingat sudah tiga kali saya mengunjungi kota ini disaat sebetulnya budget bisa dianggarkan ke kota lain (hehe Indonesia punya ratusan kota wisata kan?) tapi memang tak ada habisnya jalan-jalan di Malang terutama kota wisata Batu. Merencanakannya pun lebih baik tidak sekedar ‘mampir’ seperti perjalanan saya sebelumnya, pertama kali berkunjung ke Malang cuma mampir dari pagi sampai siang (baca wisata alam sampai theme park Malang ), yang kedua lebih singkat hanya 2 jam ‘malem-malem’ di BNS theme park (baca keseleo di Malang). Nah, yang terakhir ini saya tinggal sedikit lebih lama yaitu setelah perjalanan ke Bromo. Sengaja merencanakan pulang ke Jakarta dari Malang jadi saya bisa menginap semalam di Batu (ambigu !?@#$!).

Terminal Probolinggo (dishubprobolinggokota.net)
Mencari bus menuju Malang di terminal Probolinggo sangat mudah, banyak bus besar yang siap mengantar. Saya dan teman-teman memilih bus kedua demi mendapatkan bangku kosong paling belakang mengingat bawaan yang ‘gede-gede’ dari Bromo. Walaupun bus ini urutan kedua jalannya saya tidak khawatir karena di terminal ini ternyata bus tidak ‘ngetem’ berlama-lama (penuh/kosong tetap jalan). Rasanya ingin bilang “Bagus Pak! nanti rezekinya ada dijalanan” hehe dan ternyata benar! cukup banyak penumpang naik di kota-kota yang dilewati seperti Pasuruan, Purwosari, Purwodadi maupun Lawang. Beberapa diantaranya mahasiswa mengingat hari ini Minggu dan banyak yang akan kembali melanjutkan kuliahnya di Malang yang memang memiliki banyak universitas.

Sunday 7 April 2013

Menikmati savana tanpa hardtop

Ramainya turun gunung. Cloudy savanna here we come :)

Hardtop memang sepertinya jadi pengantar utama ketika kita ingin menikmati berbagai tempat menarik di Bromo. Selain kontur jalan yang berpasir, secara jarak katanya tempat-tempat ‘populer’ berada cukup jauh satu sama lain seperti Penanjakan (tempat melihat sunrise), kawah Bromo, padang savana, Bukit Teletubies dan Pasir Berbisik. Tapi bila dilihat lagi, sebetulnya Kawah Bromo ke Padang Savana tidaklah terlalu jauh. Toh si mobil 4WD itu tidak benar-benar mengantar kita ke tempat tujuan, yang artinya harus jalan kaki juga malah lebih banyak jalannya.

Mulailah berjalan kaki !!
Nah, atas dasar inilah, ditambah penginapan saya yang dekat pintu masuk, dan setelah memetakan jalur untuk berjalan kaki (hehe) akhirnya saya bertiga memutuskan untuk tidak ikut hardtop rombongan pulang setelah dari kawah Bromo (bayarnya si tetep PP hehe). Tidak perlu dulu lah menuju Bukit Teletubies ataupun Pasir Berbisik, saya lebih ingin menikmati padang savana, menikmati awan-awan rendah diatasnya dan angin gunung yang sejuk dengan berjalan kaki tanpa terburu waktu.

Pura Luhu Poten, banyak kuda lari kenceng, mantep!
Oia, di padang pasir kaki Gunung Bromo, ada sebuah pura hindu yang terlihat sangat eksotis berbalut kabut, apalagi ketika melihatnya dari atas. Indah sekali berlatar deretan bukit hijau. Pura ini biasa dijadikan tempat upacara Kesodo (Yadnya Kasada) bagi umat hindu. Gunung Bromo memang jadi gunung suci bagi umat hindu suku Tengger. Saya datang tidak jauh setelah perayaan Galungan, jadi banyak sekali umbul-umbul (disebutnya penjor) di depan setiap rumah, seperti ikut merasakan bagaimana Bromo (Brahma) menjadi sangat berarti bagi mereka, menjaga mereka, memberikan hidup untuk mereka. Upacara Kesodo sendiri dilakukan setiap bulan kesepuluh kalender Jawa, kalau menurut hitungan saya, tahun ini datanglah di sekitar bulan Agustus -September saat purnama. Kesodo akan berlangsung dari tengah malam hingga dini hari.

Thursday 4 April 2013

Sunrise di puncak Bromo

status Bromo : Waspada
Pukul tiga dini hari, salah satu teman membangunkan saya untuk segera bersiap ‘menangkap’ matahari terbit. Tanpa sleeping bag, udara dingin khas pegunungan meresap ketubuh membuat hidung tak pamit-pamit untuk bersin. Rasanya semalam, penginapan murah ini tidak terlalu dingin apalagi kami tidur sekasur bertiga, ditambah keyakinan bahwa ternyata Bromo tidak sedingin Dieng. Tapi akhirnya jaket dua lapis tetap saya pakai untuk melawan udara luar yang lebih dingin.

angkutan utama di kawasan Bromo
Setengah empat, Mas Bahrim, kenalan kami di perjalanan belum juga bangun padahal dialah juru kunci kami untuk mendapatkan hardtop, kenalan kami yang lain pasangan suami istri dari Malaysia malah sudah terlihat membersihkan diri. Rencananya kami bertujuh akan menyewa satu hardtop dengan rute langsung ke kawah Bromo, bukan rute kebanyakan orang ketika ingin menangkap sunrise. Setelah kami bangunkan Mas Bahrim ternyata kami masih harus menunggu temannya yang belum bersiap-siap, teman saya sudah gelisah takut ketinggalan sunrise karena rasanya kami akan jalan cukup jauh ditambah banyaknya iringan hardtop yang melintasi kami seakan menyampaikan pesan “ayo buruan... tar ketinggalan loh!” yang membuat saya juga ikut pusing karena si hardtop tak kelihatan moncong besinya.

Pukul empat pagi, kendaraan kami datang. Sebelumnya disepakati angka 200 ribu untuk menuju Kawah dan kembali ke penginapan. Itulah untungnya punya kenalan yang berdarah Madura, tawar teruss!! karena di Bromo ternyata banyak sekali penutur madura, mungkin pendatang atau memang jadi bisa berbahasa madura. Pantas, saya yang cukup familiar dengan bahasa jawa kesulitan sekali mengerti pembicaraan mereka “ini bahasa jawatimuran ya? kok gak ngerti...apa madura ya.. atau Bali” pikir saya. Biasanya dengan rute kebanyakan, tiga sampai lima tempat wisata (penanjakan – kawah – bukit teletubies – padang savana – pasir berbisik) akan dikenakan biaya antara 600 – 750 ribu rupiah. Tapi kawah bromo adalah intinya dan kami ingin melihat kawah dengan jelas saat sunrise, karena katanya kalau lebih siang kawah ini susah terlihat karena sudah banyak asap. Tapi kalau memang ingin melihat sunrise dengan latar Gunung Bromo, Gn. Batok sampai Gn. Semeru seperti yang ada di banyak foto promosi Bromo, kita bisa menuju Penanjakan terlebih dahulu.

Tuesday 19 March 2013

Menuju Way Kambas (day 4 - end) : Naik gajah latih di alam liar

Taman Nasional Way Kambas
Si Melly....
Trip ke Lampung diakhiri dengan pemandangan luar biasa dari alam Way Kambas. Kami tidak menyalahkan komentar teman-teman yang tidak begitu yakin akan lancarnya perjalanan menuju Way Kambas, karena memang tidak mudah, tidak murah, sampai harus disantronin polisi (baca Menuju Way Kambas – day 3) tapi tidak terlalu mahal karena memang itulah satu-satunya jalan bagi dua orang traveler ini, jadi istilahnya mah sepadan lah dengan apa yang akan kita nikmati disana, yang penting tetap yakin pasti sampai!

Taman Nasional Way Kambas (TNWK) menyambut kami dengan gerbang pertamanya, Plang Ijo. Angkutan kesana ya ojek karena memang hanya ada ojek dan ini ojek yang bisa dipesan untuk jemput ketika hendak pulang nanti. Plang Ijo bisa dicapai dalam waktu 15 menit dan sekali lagi jalannya rusak dan becek. Lepas dari Plang Ijo kita tidak akan lagi menemukan perumahan penduduk, mulai dari sini hanya akan ada hutan, jalanan berbatu, hening sekali! terkadang hanya kicauan burung yang jadi pengiring selama 10 menit perjalanan menuju pintu gerbang Pusat Pelatihan Gajah (PLG).

Selain hutan yang lebat, saya juga melihat taman nasional ini berbatasan dengan perkebunan warga yang dipasangi parit cukup dalam diperbatasannya. Memang, dari yang saya dengar banyak gajah liar yang kehabisan makanan di hutan biasanya akan memasuki perkebunan warga untuk mencari makan, yang akhirnya merusak perkebunan itu sendiri sehingga menakuti warga. Maka dibuatlah parit-parit yang cukup dalam untuk menahan si gajah. Kasian juga yah membayangkan gajah liar yang kelaparan ini, karena ada lebih banyak gajah liar (200-an) dibandingkan gajah latih (60-an) di areal TNWK yang total mencapai 125ribu hektar ini. Semoga saja kebakaran hutan apalagi yang disengaja tidak banyak terjadi supaya makanan mereka pun selalu tersedia.
Taman Nasional Way Kambas
Ramai.. seperti layaknya taman margasatwa, disini juga ada tracking naik gajah mengitari taman

Saturday 16 February 2013

Menuju Way Kambas (day 3) : Digerebek polisi bak tersangka teroris


Liburan masih tersisa dua hari, wisata pantai yang katanya bagus di Lampung menjadi kandidat kuat di obrolan kami sepanjang hari, sesekali menyelipkan alternatif lain, dan kesanalah akhirnya kami, Way Kambas!! Perjalanan menuju Way Kambas menjadi perjalanan untuk mengingat kembali arti keyakinan. Ketika semua teman yang kami tanya tidak tahu, bahkan tidak merekomendasikan Way Kambas sebagai salah satu tujuan yang ‘nyaman’ karena akses yang sulit, tapi alam Way Kambas yang sudah tergambarkan indah plus ingat salah satu iklan rokok mengalahkan semuanya. Nekat, kami berangkat berbekal pengalaman backpacker beberapa orang di internet dan (sekali lagi) Keyakinan!!

Pagi-pagi sekali kami rencanakan bergerak dari Tulang Bawang untuk menuju Way Kambas mengingat jaraknya yang jauh, tapi nyatanya, oleh-oleh pisang cokelat cukup menggoda kami untuk kemudian membuat rencana Way Kambas jadi ‘jam karet’ hehe. Apalagi ketemu pabrik pisang coklatnya langsung kawann, murahh!!! Oia, menuju Way Kambas dari Bakauheni memang akan lebih mudah, tinggal naik travel yang mengarah ke Way Jepara. Lain cerita kalau dari Tulang Bawang.

Sehari lagi ketemu gajah!
Sekitar jam 10 pagi setelah ‘belanja’ kami diantarkan menuju bus jurusan Rajabasa, tipe bus yang sama yang kemarin kami tumpangi ketika menuju Tulang Bawang. Dari bekal lihat peta sih kalau mau menuju Way Kambas kita bisa lewat Metro. Jadi di daerah bernama Gotong Royong saya minta diturunkan Pak supir, itu salah satu akses menuju Metro.

Sebelum jam 12 siang, kami sudah sampai di perempatan Gotong Royong. Satu-satunya angkutan dari sini menuju Metro adalah carry kecil biru, dengan dus-dus bertumpuk diatasnya, duduk ala 4-6-2 yang sempit, entah karena mobilnya lebih kecil atau tas-tas penumpangnya yang gede-gede ditambah ngetem yang lama karena tunggu penuh, beruntung kami duduk di “2” jadi seyogyanya ketika “2” terisi penuh sudah tentu angkot pun jalan. Yippi!

Saturday 26 January 2013

Menuju Way Kambas (day 2) : Tulang Bawang itu jauuuh

im going to meet her :)

“Loh kenapa jadi ke Tulang Bawang?”

Kalau ngeh sama petanya Lampung, menuju Tulang Bawang itu seperti ‘kesasar bloon’ kalau memang tujuannya adalah Way Kambas karena totally beda arah hehe. Tapi kesanalah kami karena tujuan lain, menghadiri pernikahan salah satu teman (niat yah?!). Bukan pernikahannya yang akan saya ceritakan, tapi bagaimana perjalanan menuju kesana yang ternyata gak cuma jauh tapi menarik. Seperti kata pepatah lagi, it is not about the destination but the journey.

Trans Lampung
Senang rasanya banyak kota di Indonesia, yang sudah ‘berusaha’ membuat transportasi massal yang nyaman, harga terjangkau serta relatif aman, di Lampung contohnya adalah Trans Lampung. Dari yang saya pernah kunjungi, transportasi model shelter ini sudah ada di Jakarta, Bogor, Semarang, Solo, Jogja, Palembang dan semoga lebih banyak lagi. Tapi Trans Lampung ternyata punya keunikan sendiri.

Pagi-pagi sekali kami cari sarapan dan cari info bagaimana menuju Tulang Bawang. Dan ternyata kami harus ke Terminal Rajabasa, terminal besar di B.Lampung dan naik bus arah Way Abung. Lalu untuk menuju terminal bisa dengan angkot (disebut juga taksi) atau pakai jasa Trans Lampung. Kalau kata mas-mas pedagang pulsa mah “naik aja Trans Lampung arah Rajabasa, stop aja di pinggir jalan” Wahh! Tanpa shelter dengan bus setinggi itu? tapi dilihat-lihat memang jarang kelihatan bangunan shelter tempat bus-bus Trans biasanya berhenti.

Sunday 20 January 2013

Menuju Way Kambas (day1): ‘Ngeteng’ ke Bandar Lampung

Ngeteng? ya jalan lah..
Perjalanan ke pulau Sumatera kali ini memang bukan yang pertama, tapi ini jadi pengalaman saya pertama naik kapal ferry, lalu pertama kali bermalam di masjid, pertama kali naik gajah, sampai pertama kali didatengin polisi bak tersangka teroris. Rasanya campur aduk! Saya jadi ingat salah satu kalimat, “Kapan terakhir kali anda melakukan sesuatu untuk pertama kalinya?” kalau tidak bisa jawab, waktunya jalan-jalan. Jadi kesanalah saya, Lampung. 

Untuk menuju provinsi Lampung saya bisa saja menggunakan Damri dari Stasiun Gambir tapi nyatanya saya pakai jalur repot alias ‘ngeteng’. Mungkin sisi baiknya cara ini lebih murah bisa sampai setengah harga Damri serta waktu yang lebih fleksibel, tapi apakah ada sisi gak enaknya? ya ada tapi buat saya mah seru-seru aja lah hehe.

antri ni siap-siap ke kapal
Jam 6 pagi saya dan seorang teman meninggalkan rumah menuju Pasar Rebo untuk cari bus ke Merak. Infonya sih bus yang melayani rute Jakarta-Merak ada Primajasa, Arimbi, Bima Suci, Armada, Laju Prima yang semuanya sudah AC. Saya mah mana aja lah yang penting murah (padahal harganya sama semua) dan tak lama naiklah saya ke Arimbi yang untungnya masih kosong jadi nyaman bisa duduk manis dan lega. Mungkin karena masih pagi atau memang belum rezeki sang supir sudah keluar masuk tol nunggu di slipi, di kebon jeruk tapi bisnya tak kunjung penuh dan terjadilah, si Arimbi menurunkan kami di Serang, apes!! Alasan yang dipakai ‘busnya mau tambal ban’ tapi katanya penumpang yang mau ke daerah Serang gak usah ganti bus hehe. Jadi lebih lama lah saya sampai di Merak sekitar jam 10.30 siang.

cukup nyaman kok, kalau sepi hehe
Pelabuhan yang beroperasi 24 jam ini memang  bagus dan cukup bersih, walaupun harus jalan agak jauh menuju pelabuhan tapi disediakan jalur pedestrian yang berkanopi dan cukup nyaman apalagi memang sedang hujan. Beruntung saya berangkat masih cukup jauh dari liburan Natal-Tahun Baru jadi masih agak sepi penumpangnya. Di jalur pedestrian ini pun banyak pedagang jadi mudah kalau mau beli bekal dulu dan memang lebih baik beli diluar kapal. Ada satu percakapan lucu di dalam kapal ketika seorang bapak disamping saya menanyakan harga minuman kaleng ke perempuan muda yang menjualkannya. Ternyata harganya naik  5 ribu, si Bapak bilang “kayak di kapal aja!” si mbak cuma tersenyum.
So, mau beli Pop Mie 4 ribu di Indomaret atau 10 ribu di kapal?